seminar nasional PENegakan Hukum kedaulatan wilayah R.I dan Masalah Perbatasan dgn negara tetangga
GOOD FENCES MAKE GOOD NEIGHBORS . “Pagar yang baik akan menciptakan hubungan bertetangga yang baik pula”. Itulah kata kunci yang diberikan oleh Bapak Tyriono Wibowo, Wakil Menteri Luar Negeri Republik Indonesia sebagai pembicara tunggal dalam Seminar Nasional “Penegakan Hukum dan Kedaulatan di Wilayah NKRI serta Masalah Perbatasan dengan Negara Tetangga”
Seminar Nasional tersebut diselenggarakan oleh Pusat Kajian Konstitusi Universitas NAROTAMA – bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri R.I. pada tanggal 29 Januari 2011 di Conference Room Kampus Universitas Narotama Surabaya. Tidak kurang dari 200 peserta yang hadir dari kalangan akademisi dari berbagai perguruan tinggi , PTS / PTN se Surabaya.
Dalam UUD-1945 belum disebutkan secara spesifik batas wilayah R.I , demikian Bapak Tyriono Wibowo mengawali paparannya. Baru kemudian , berdasarkan prinsip prinsip hukum ( Belanda) yang berlaku pada saat itu, batas kewilayahan lautan di yang akui adalah 3 mil dari garis pantai , sehingga luas wilayah R.I meliputi sekitar 100.000 Km2. Namun dengan menganut system hukum tersebut timbullah masalah “cheese swiss”, karena dijumpai adanya “lubang-lubang” kewilayahan diantara pulau-pulau yang berjarak lebih dari 6 mil, dan celah-celah itulah yang dipakai para subersive sebagai jalur lalu lalang untuk kegiatannya melemahkan kedaulatan R.I.
Pada tahun 1957, dengan deklarasi Djoeanda , maka R.I mulai merapikan wilayah kelautannya dengan mencanangkan garis batas 12 mil dari pantai terluar, yang kemudian disusul dengan diterbitkannya UU no.4 tahun 1960 yang dikenal dengan konsep Wawasan Nusantara, dengan memposisikan R.I sebagai “Arphilagic State”-negara kepulauan , dengan konsep tersebut luas wilayah R.I menjadi 6 juta Km2.
Sebenarnya konsep ini belum dikenal secara Internasional; namun dengan kegigihan para diplomat kita untuk mensosialisasikan konsep tersebut, sekaligus melakukan negosiasi dengan negara negara yang berkepentingan , maka akhirnya pada tahun 1994 mendapat pengakuan Internasional.
Sampai disini menurut pandangan kami , diplomasi R.I telah dapat menyelesaikan dengan baik “PEMAGARAN YURIDIS “ kewilayahan R.I . Namun bagaimana dengan penegakan hukumnya dalam mempertahan kan kedaulatan wilayah R.I tersebut , Kiranya diperlukan tindakan tegas yang positif, luwes namun bermartabat dari bidang Hankam, serta jangan dilupakan agar pemerintah memperhatikan – ngopeni – kesejahteraan saudara saudara kita di tepian wilayah NKRI, sehingga terciptalah ketahanan Nasional yang kokoh , bermartabat dan berdaulat.( budhiv-29012011)
Seminar Nasional tersebut diselenggarakan oleh Pusat Kajian Konstitusi Universitas NAROTAMA – bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri R.I. pada tanggal 29 Januari 2011 di Conference Room Kampus Universitas Narotama Surabaya. Tidak kurang dari 200 peserta yang hadir dari kalangan akademisi dari berbagai perguruan tinggi , PTS / PTN se Surabaya.
Dalam UUD-1945 belum disebutkan secara spesifik batas wilayah R.I , demikian Bapak Tyriono Wibowo mengawali paparannya. Baru kemudian , berdasarkan prinsip prinsip hukum ( Belanda) yang berlaku pada saat itu, batas kewilayahan lautan di yang akui adalah 3 mil dari garis pantai , sehingga luas wilayah R.I meliputi sekitar 100.000 Km2. Namun dengan menganut system hukum tersebut timbullah masalah “cheese swiss”, karena dijumpai adanya “lubang-lubang” kewilayahan diantara pulau-pulau yang berjarak lebih dari 6 mil, dan celah-celah itulah yang dipakai para subersive sebagai jalur lalu lalang untuk kegiatannya melemahkan kedaulatan R.I.
Pada tahun 1957, dengan deklarasi Djoeanda , maka R.I mulai merapikan wilayah kelautannya dengan mencanangkan garis batas 12 mil dari pantai terluar, yang kemudian disusul dengan diterbitkannya UU no.4 tahun 1960 yang dikenal dengan konsep Wawasan Nusantara, dengan memposisikan R.I sebagai “Arphilagic State”-negara kepulauan , dengan konsep tersebut luas wilayah R.I menjadi 6 juta Km2.
Sebenarnya konsep ini belum dikenal secara Internasional; namun dengan kegigihan para diplomat kita untuk mensosialisasikan konsep tersebut, sekaligus melakukan negosiasi dengan negara negara yang berkepentingan , maka akhirnya pada tahun 1994 mendapat pengakuan Internasional.
Sampai disini menurut pandangan kami , diplomasi R.I telah dapat menyelesaikan dengan baik “PEMAGARAN YURIDIS “ kewilayahan R.I . Namun bagaimana dengan penegakan hukumnya dalam mempertahan kan kedaulatan wilayah R.I tersebut , Kiranya diperlukan tindakan tegas yang positif, luwes namun bermartabat dari bidang Hankam, serta jangan dilupakan agar pemerintah memperhatikan – ngopeni – kesejahteraan saudara saudara kita di tepian wilayah NKRI, sehingga terciptalah ketahanan Nasional yang kokoh , bermartabat dan berdaulat.( budhiv-29012011)
Leave a Comment