MK Putuskan Syarat Hakim Konstitusi Harus Berijazah Magister Inkonstitusional

MK Putuskan Syarat Hakim Konstitusi Harus Berijazah Magister Inkonstitusional

Kamis, 13 September 2012 | 20:02 WIB





Jakarta, 13/9 - SIDANG PUTUSAN. Ekspresi Pemohon Prinsipal Bambang Supriyanto (kanan), Max Boli Sabon (kiri), usai mendengarkan pengucapan putusan perkara No.68/PUU-IX/2011 yang mereka mohonkan, di ruang Sidang Pleno MK. Foto Humas/Ganie.

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan syarat hakim konstitusi harus memiliki ijazah magister tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Amar putusan dengan Nomor 68/PUU-IX/2011 ini dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh tujuh hakim konstitusi pada Kamis (13/9) di Ruang Sidang Pleno MK.

“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Pasal 15 ayat (2) huruf b sepanjang frasa “dan magister” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 15 ayat (2) huruf b sepanjang frasa “dan magister” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya,” ucap Mahfud dalam sidang yang juga dihadiri oleh Pemohon.

Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar, Mahkamah menimbang bahwa syarat yang ditetapkan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b UU 8/2011, yaitu “berijazah doktor dan magister dengan dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum” merupakan syarat untuk menjadi hakim konstitusi yang dielaborasi dari ketentuan konstitusional frasa “yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan” dalam Pasal 24C ayat (5) UUD 1945 yang selengkapnya menyatakan, “Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara”. Akil melanjutkan yang menjadi pertanyaan konstitusionalitasnya adalah apakah penetapan syarat untuk menjadi hakim konstitusi yang demikian itu berpotensi atau bahkan terbukti melanggar penerapan hak asasi manusia dalam Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

“Menurut Mahkamah, syarat yang ditetapkan oleh pembentuk Undang-Undang berkaitan dengan jenjang pendidikan yang pernah ditempuh oleh calon hakim konstitusi sebagai syarat untuk menduduki jabatan publik (public office) merupakan cara yang diambil oleh pembentuk UndangUndang untuk melihat kemampuan seorang calon dengan standar yang dapat diukur (feasible). Ukuran jenjang pendidikan yang pernah ditempuh oleh calon hakim konstitusi yang ditetapkan oleh pembentuk Undang-Undang merupakan syarat yang bebas dari kepentingan, objektif dan tidak diskriminatif,” jelas Akil.

Selain itu, lanjut Akil, masalah persyaratan jenjang pendidikan yang pernah ditempuh oleh seorang calon Hakim Konstitusi berkaitan dengan pengelompokan jenjang pendidikan tinggi di Indonesia dengan pendekatan tingkat pendidikan tinggi, dikelompokkan dalam tiga tingkat, yaitu strata satu (S-1/Sarjana), strata dua (S-2/Magister), strata tiga (S-3/Doktor). Dengan adanya pendekatan program dikenal dengan dua program, yaitu Program Sarjana dan Program Pasca Sarjana. Program Pasca Sarjana dibagi menjadi Program Magister dan Program Doktoral. Program Magister dianggap sebagai pintu masuk untuk menempuh jenjang kualifikasi yang lebih tinggi dengan pengetahuan yang lebih khusus (spesialisasi) yaitu Doktor. “Faktanya ada beberapa program pascasarjana yang langsung menerima program pendidikan doktor tanpa melalui program magister. Selain itu, sampai sekarang masih banyak lulusan program doktor di masa lalu yang tidak melalui program magister. Berdasarkan fakta-fakta tersebut maka ketentuan adanya persyaratan ‘berijazah magister’ akan melanggar hak-hak konstitusional para penyandang gelar doktor yang tidak mempunyai ijazah magister,” paparnya.

Berdasarkan fakta hukum tersebut di atas, lanjut Akil, untuk mengatasi adanya permasalahan jenjang pendidikan sebagai syarat menjadi hakim konstitusi dan untuk memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara Indonesia yang berpendidikan tinggi hukum yang ingin menjadi hakim konstitusi, menurut Mahkamah frasa “dan magister” sebagai syarat hakim konstitusi harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Akil menambahkan Mahkamah tidak sependapat dengan para Pemohon bahwa salah satu syarat untuk menjadi hakim konstitusi haruslah berijazah doktor dan magister dalam ilmu hukum. Menurut Mahkamah, yang lebih rasional adalah penghapusan frasa “dan magister” saja.

“Hal yang paling utama menurut Mahkamah adalah seorang calon hakim konstitusi haruslah sarjana (Strata-1) yang berlatar belakang hukum dan memiliki pengalaman dalam bidang hukum sebagaimana disyaratkan dalam Undang-Undang a quo. Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah menilai, Pasal 15 ayat (2) huruf b UU 8/2011 sepanjang frasa “dan magister” bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian permohonan para Pemohon beralasan hukum untuk sebagian,” tandasnya. (Lulu Anjarsari)



Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.