“Double Protection” Jaminan Kematian dalam UU Ketenagakerjaan dan UU Jamsostek Beratkan Pengusaha

Dalil pengujian Pasal 166 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) dan Pasal 12 UU Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (UU Jamsostek), bermula saat meninggalnya salah seorang karyawan PT. Angkasaria Indahabadi. Karwayan tersebut meninggal dunia bukan disebabkan kecelakaan kerja, tapi karena menderita penyakit.

Sebelum berlakunya UU Ketenagakerjaan tersebut, katentuan yang berkaitan dengan meninggalnya karyawan, mengacu kepada Kepmenaker Nomor 150/MEN/2000 tentang Penyelesaikan PHK dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja serta ganti kerugian di perusahaan.

Melalui surat edaran Nomor B.792/M/B/2000 Dirjen Binawas Mohd. Syaufii Syamsuddin atas nama Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengeluarkan penjelasan implementasi Kepmen 150/MEN/2000 pada ayat 5 yang menyatakan: “Dalam hal pekerja putus hubungan kerja karena meninggal dunia, pengusaha wajib membayar santunan kepada ahli waris yang sah sesuai ketentuan Pasal 32 Kepmen Nomor 150/MEN/2000 namun menyangkut penyelenggaraannya dapat mengikutsertakan pekerjannya  kepada program asuransi jiwa, yang pembayaran preminya tidak dibebankan kepada pekerja, dan jumlah pertanggungan santunan           tidak lebih rendah dari ketentuan yang diatur di dalam Kepmenaker Nomor 150/MEN/2000.”

“Implementasi Kepmen Nomor 150/MEN/2000 Pasal 32, yaitu memilih salah satu. Artinya, dalam hal pekerja yang sudah diikutkan kepesertaannya kepada program jamsostek, yaitu jaminan kematian, perusahaan tidak perlu memberlakukan secara dobel.”

Demikian dikatakan Ivan Sugandi dalam kapasitasnya sebagai kuasa hukum PT. Angkasaria Indahabadi dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, Jum’at (6/7/2012). Sidang perkara 61/PUU-X/2012 ihwal pengujian Pasal 166 UU Ketenagakerjaan dan Pasal 12 UU Jamsostek, beragendakan pemeriksaan pendahuluan.

Pasal 166 UU Ketenagakerjaan berbunyi: “Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2 (dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan pasal156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4).”

Menurut Pemohon, pelaksanaan Kepmenaker Nomor 150/MEN/2000 Pasal 32, secara tegas dan menyakinkan adalah terkait dengan Pasal 12 UU Jamsostek, yaitu progran Jaminan Kematian. Sesuai keputusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) Jawa Timur Nomor 565/433/112-10/2003, maka secara yuridis formal pelaksanaan Kepmenaker Nomor 150/MEN/2003 Pasal 32, adalah sama dengan UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 166.

Pemohon dalam petitum meminta Mahkamah menyatakan pasal 166 UU Ketenagakerjaan dan pasal 12 UU Jamsostek harus dikaitkan dalam pelaksanaannya. Kemudian, menyatakan Pasal 166 UU Ketenagakerjaan dan Pasal 12 UU Jamsostek tidak bisa dipisahkan dalam pelaksanaannya untuk mencegah double protection atau perlindungan ganda dalam kasus  permasalahan yang sama dan bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28D ayat (1).

Mendengar penjelasan Pemohon, Ketua Panel Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menyatakan uraian dalam permohonan mempermasalahkan pelaksanaan atau implementasi undang-undang. “Bapak (Pemohon) mempertanyakan dua undang-undang yang sekaligus berlaku pada suatu kasus,” kata Maria.

Mahkamah Konstitusi, lanjut Maria, mengadili pasal atau norma di dalam undang-undang terhadap UUD 1945. “Jadi, kita tidak mengadili tentang implementasinya, tapi norma yang ada di dalam pasal-pasal tersebut,” terang Maria.

Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar mempertajam dengan pertanyaan mengenai keberatan Pemohon. “Apakah Saudara keberatan untuk membayar kewajiban terhadap tenaga kerja yang meninggal, ataukah Saudara merasa dirugikan dengan berlakunya pasal atau norma yang termuat di dalam undang-undang itu?” tanya Akil.

Senada keterangan dan nasihat Maria, Akil menyatakan, jika Pemohon keberatan terhadap pelaksanaan norma, maka tidak tepat jika Pemohon mengujikannya ke Mahkamah Konstitusi. Selain itu, Akil menyoroti surat kuasa yang salah fatal. “Saya lihat surat kuasa Saudara pun salah, yaitu menguji UUD 1945 terhadap UU. Terbalik,” tambah Akil. (Nur Rosihin Ana/mh)



Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.