Pertarungan Konstitusionalitas Tembakau di Balik UU Kesehatan

Sejak resmi diundangkan, UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah salah satu beleid yang paling sering diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Uniknya, sebagian besar pengujian itu terkait dengan tembakau atau lebih spesifik rokok. Sejumlah pihak yang menjadi pemohon pengujian UU Kesehatan dirugikan hak konstitusionalnya atas keberadaan pasal-pasal terkait tembakau atau rokok.



Berdasarkan catatan hukumonline, ada sekitar enam permohonan pengujian terhadap UU Kesehatan. Empat permohonan telah diputus yaitu perkara yang dimohonkan Bambang Sukarno; Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI); Widyastuti Soerojo, Muherman Harun, Ikatan Senat Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia (SMKMI); dan Harfash Gunawan Dkk (pengusaha rokok).



Sisanya, dua permohonan lagi masih dalam proses pemeriksaan yaitu perkara nomor 57/PUU-IX/2011 yang dimohonkan Enryo Oktavian, Abhisam Demosa, dan Irwan Sofyan (perokok) dan perkara nomor 86/PUU-IX/2011 yang dimohonkan sejumlah pedagang asongan dan perokok.



Selengkapnya lihat tabel di bawah ini.

Pemohon Alasan Permohonan

Posisi Kasus

Bambang Sukarno (Mewakili Petani Tembakau Indonesia). Putusan MK No. 19/PUU-VIII/2010 tanggal 1 November 2011.

Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan yang menyatakan tembakau dan produk yang mengandung tembakau sebagai zat yang bersifat adiktifdinilai diskriminatif (tidak adil) karena hanya mencantumkan jenis tanaman tembakau.

Putusan Ditolak. Dua hakim MK M. Akil Mochtar dan Hamdan Zoelva menyatakan dissenting opinion (pendapat berbeda).



Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) DPD Jawa Tengah. Putusan MK No. 34/PUU-VIII/2010 tanggal 1 November 2011. Pasal 113 ayat (2), Pasal 114 beserta penjelasannya, dan Pasal 199 ayat (1) UU Kesehatan dinilai diskriminatif, tidak memberikan jaminan penghidupan yang layak, dan tidak memberikan kepastian hukum yang adil. Putusan dikabulkan sebagian. MK menyatakan kata “dapat” dalam Penjelasan Pasal 114 UU Kesehatan bertentangan dengan UUD 1945 (dibatalkan), sehingga peringatan kesehatan harus dimaknai dengan tulisan yang jelas, mudah terbaca, dan disertai gambar atau bentuk lainnya



Widyastuti Soerojo, Muherman Harun (dokter), dan ISMKMI. Putusan MK No. 43/PUU-IX/2011 tanggal 1 November 2011. Penjelasan 114 UU Kesehatan, khususnya menyangkut kata “dapat” merugikan kesehatan masyarakat.

Putusan nebis in idem dengan putusan MK No. 34/PUU-VIII/2010.



Harfash Gunawan, Zaenal Musthofa, dan Erna Setyo Ningrum. Putusan MK No. 55/PUU-IX/2011 Tanggal 17 Januari 2012. Pasal 114 dan Pasal 199 ayat (1) UU Kesehatan yang mewajibkan pencantuman peringatan kesehatan pada kemasan rokok bertentangan dengan UUD 1945 Putusan nebis in idem dengan putusan MK No. 34/PUU-VIII/2010.

Enryo Oktavian, Abhisam Demosa, dan Irwan Sofyan(Perokok). Perkara nomor 57/PUU-IX/2011 Penjelasan Pasal 115 ayat (1) UU Kesehatan yang mengatur tempat-tempat yang dinyatakan sebagai KTR dinilai bukan kewajiban (pengelola gedung) untuk menyediakan tempat khusus merokok karena adanya kata “dapat”.Adanya kata “dapat” itu berimplikasi terhadap tidak adanya jaminan perlindungan hak konstitusional seseorang dalam merokok. Masih berproses tinggal menunggu putusan.

Muhidin Sapdiana, Dulkarim, Deden (pedagang asongan) dan A Zulvan Kurniawan, Indra Gunawan, Rini (perokok). Perkara nomor 86/PUU-IX/2011 Pasal 115 ayat (1)UU Kesehatan berikut penjelasannya yang mengatur KTR dinilai bentuk pembatasan negara terhadap penggunaan rokok sebagai barang legal. Masih berproses



Merujuk latar belakang para pemohon pengujian UU Kesehatan, terkesan ada “pertarungan” antara kelompok masyarakat pro rokok dan anti rokok. Pertarungan ini mungkin saja turut melibatkan hakim konstitusi secara individual.



Seperti tercermin dalam putusan perkara nomor 19/PUU-VIII/2010. Meski MK menolak, dua hakim Konstitusi mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda) yang tak sepakat jika hanya tembakau sebagai satu-satunya zat adiktif. Mereka berpendapat tembakau yang menghasilkan produk rokok memiliki kepentingan ekonomi, sosial, dan budaya bagi petani tembakau dan buruh pabrik rokok yang jumlahnya sekitar enam jutaan.



Selain itu, menurut dua hakim yang dissenting opinion, kebiasaan merokok merupakan bagian warisan budaya di sebagian masyarakat Indonesia. Meski cukup argumentatif, pertimbangan itu terkesan subjektif karena salah satu hakim konstitusi diketahui sebagai perokok aktif.



Putusan MK nomor 34/PUU-VIII/2010 yang mewajibkan pengusaha rokok mencantumkan gambar peringatan kesehatan selain tulisan juga terdapat “pertarungan” antara pengusaha pabrik rokok dan petani tembakau. Meski tak seluruhnya dikabulkan, putusan itu masih membuat “tersenyum” petani tembakau. Sebab, dengan putusan itu pengusaha rokok harus mengeluarkan kocek biaya produksi tambahan untuk pencantuman gambar dalam setiap kemasan bungkus rokok.



Seperti diketahui, akhir-akhir ini petani tembakau seringkali mengeluh lantaran hasil tembakaunya kerap dihargai murah oleh pengusaha pabrik rokok yang sebagian tercatat sebagai orang terkaya di republik ini. Sementara, sebagian besar petani tembakau masih hidup dalam himpitan kemiskinan.



Merokok HAM?

Sementara selama proses permohonan yang diajukan Enryo Oktavian Dkk dan Muhidin Sapdiana Dkk muncul perdebatan apakah kebiasaan merokok termasuk HAM dalam perpektif konstitusi dan perundangan-undangan. Seperti para pemohon (Enryo dan Muhidin Dkk) berpendapat bahwa rokok adalah produk legal yang dapat dikomsumsi setiap individu (hak) yang seharusnya dilindungi undang-undang.



Sedangkan pemerintah dan ahli yang diajukan pihak terkait dalam perkara nomor 57/PUU-IX/2011 yang tergabung Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau Indonesia (KPAI, YLKI, LM3) berpendapat sebaliknya. Mereka berpendapat merokok bukanlah HAM karena merokok bukanlah hak dasar manusia yang langsung diberikan langsung olehTuhan.



Menurutnya, hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat, khususnya bebas dari asap rokok merupakan HAM yang dilindungi undang-undang. Sebab, manusia tak bisa hidup tanpa lingkungan bersih dan sehat yang merupakan pemberian langsung dari Tuhan. Selain itu, tak ada aturan atau pasal dalam undang-undang pun bahwa merokok merupakan bagian dari HAM. Justru merokok menimbulkan ketergantungan (adiktif) dan efek buruk kesehatan pelakunya dan orang-orang di sekitarnya.



Dilematis

Pengaturan tembakau yang menghasilkan rokok ini memang dilematis. Sebab, banyak aspek mulai menyangkut hak kesehatan masyarakat, hak penghidupan/hak mencari pekerjaan, hingga pendapatan/penerimaan negara lewat cukai rokok dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dengan jumlah yang cukup fantastis.



Apalagi cukai rokok merupakan pendapatan negara terbesar keempat setelah pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan badan, serta pajak penghasilan minyak dan gas. Industri rokok ini juga menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Target penerimaan negara dari cukai tembakau tercatat sebesar Rp59,3 triliun pada APBN-P 2010 menjadi Rp62,7 triliun pada APBN-P 2011. Pada 2012, pemerintah menargetkan penerimaan cukai sebesar Rp72,44 triliun.



Namun jangan dilupakan, dampak negatif yang ditimbulkan rokok juga sangat besar bagi kesehatan masyarakat. Sehingga tak heran, dalam sejumlah pengujian UU Kesehatan ini banyak pihak kepentingan yang bermain. Bahkan, berbagai kepentingan yang “bermain” terkait aturan produk tembakau ini sebenarnya sudah berlangsung sejak pembahasan rancangan UU Kesehatan ini.



Kita mungkin masih ingat, Pasal 113 RUU Kesehatan yang mengatur pasal tembakau ini sempat dinyatakan hilang ketika diserahkan di Sekretaris Negara setelah disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 14 September 2009 silam. Pasal 113 RUU mestinya berisi tiga ayat, tetapi, ayat dua tiba-tiba hilang ketika naskah RUU ini keluar dari DPR.



Kini, perkara ini tengah diajukan praperadilan oleh KAKAR terkait SP3 Ribka Tjiptaning, Asiyah Salekan, dan Maryani Baramuli dalam kasus penghilangan ayat tembakau dalam UU Kesehatan pada Oktober 2010.



Terlepas dari itu, semua pihak mungkin sepakat bahwa penggunaan tembakau atau peredaran rokok sebagai produk yang mengandung zat adiktif harus dikendalikan/dibatasi untuk melindungi masyarakat bukan perokok. Penegasan ini juga telah dinyatakan dalam putusan MK nomor 19/PUU-VIII/2010 (hal. 137) yang menyatakan tidak ada persoalan diskriminatif dalam pasal tembakau itu. Terlebih, dukungan masyarakat termasuk perokok terkait penegakan aturan larangan merokok di tempat-tempat umum cukup besar seperti hasil survei YLKI.



Karenanya, pengaturan pengendalian tembakau/rokok termasuk KTR ini sudah cukup memadai dalam konteks menjamin hak masyarakat. Misalnya, aturan KTR dibuat untuk melindungi hak masyarakat yang bukan perokok untuk mendapatkan lingkungan sehat dan bersih yang dijamin UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM. Demikian pula Peraturan Bersama Menkes dan Mendagri No 188 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok.



Peraturan bersama itu menyatakan pengelola gedung dapat menyediakan tempat khusus untuk merokok dengan syarat ruangan merokok harus tempat terbuka, terpisah dari ruang utama beraktivitas, jauh dari pintu masuk atau keluar, jauh tempat orang berlalu lalang.



Dengan Kata lain, aturan hukum yang mengatur KTR telah memberikan toleransi optimal bagi semua pihak. Terlebih, masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim seharusnya terikat secara individual atas fatwa rokok haram untuk anak-anak, remaja, wanita hamil, dan merokok di tempat umum yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Januari 2009 lalu.



Meski demikian, dari sisi substansi seharusnya ada kejelasan/ketegasan yang patut dipertimbangkan MK dalam memutus pengujian Pasal 115 ayat (1) UU Kesehatan ini nantinya. Hal ini ditujukan untuk mengakomodir semua kepentingan secara adil khususnya bagi pedagang asongan rokok, buruh pabrik rokok, dan petani tembakau. Sebab, dalam pengujian Pasal 115 ayat (1) ini menyangkut hak mencari pekerjaan/penghidupan yang layak dan hak mempertahankan kehidupannya sebagaimana dijamin Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28A UUD 1945.



Semua pihak termasuk MK meski menyadari bahwa tidak semua pedagang asongan rokok, buruh pabrik, dan petani tembakau adalah perokok. Mereka juga butuh kepastian hukum dalam berusaha dalam menjajakan produk rokok yang masih dianggap barang legal. Hal ini untuk menghindari putusan MK dalam pengujian UU Kesehatan berikutnya terkait rokok ini tidak dianggap “banci” yang berpotensi akan terus dipersoalkan komunitas masyarakat itu.

Sumber : http://www.hukumonline.com

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.